Manusia vs alam. (sebuah analisis filosofis kerusakan ekologis dalam perspektif Taoisme). A. Pengantar
Стр 1 из 5Следующая ⇒ MANUSIA VS ALAM (SEBUAH ANALISIS FILOSOFIS KERUSAKAN EKOLOGIS DALAM PERSPEKTIF TAOISME) Oleh: Michael Ganda Kharisma (1323014005)
A. Pengantar Manusia dan alam sejak dulu dan selanjutnya adalah dua sahabat yang tak dapat dipisahkan, dua rekan sejalan, dua nyawa yang tahu tentang kesedihan, kegembiraan, kerinduan dan usaha mereka. Relasi manusia dan alam adalah relasi keakraban dan timbal balik antara dua subjek tanpa harus ada yang merusakkan, menyakitkan atau menghancurkan satu sama lain. Alam adalah tempat tinggal (Yunani: Oikos) dan tempat pijakkan hidup manusia. Manusia mempunyai tanggung jawab besar untuk memelihara alam dan melestarikannya, karena dapat dikatakan bahwa kematian alam adalah kematian citra kemanusiaan manusia dan kematian manusia sebagai makhluk yang terbatas. Tetapi kini bisa dilihat bahwa bumi dan manusia juga bisa “bermusuhan”. Ini adalah permusuhan klasik, manusia vs alam, muncul ketika ada tujuan keserakahan manusia terhadap alam. Ketika ini terjadi, alam dengan kekerasan dan keganasannya menyebabkan kehancuran luar biasa. Kerusakan alam tak lain disebabkan karena kecerobohan manusia dalam pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan. Eksplorasi yang berlebihan terhadap alam menimbulkan kerusakan- kerusakan pada bumi yang jika diakumulasikan pasti bisa membaca gejala-gejala kefatalan apa yang akan terjadi kelak. Masih segar diingatan kita banyaknya bencana-bencana alam akibat ulah manusia yang terjadi di Indonesia, sebut saja musibah lumput Lapindo yang menelan ratusan keluarga dan berhektar-hektar pemukiman di Sidoarjo, Jawa Timur dan disimpulkan sebagai bencana nasional, kendati tampak jelas aspek human error pada kasus tersebut. Bencana lain seperti musibah longsor yang terjadi di Banjarnegara. Yang menelan puluhan jiwa dan 180 warga harus hidup di pengungsian dengan kondisi yang memprihatinkan. Kemudian bencana tanah longsor di Semarang yang mengakibatkan beberapa rumah hancur, walaupun tidak membawa korban jiwa. Baru- baru ini menurut salah satu media cetak lokal ternama, Tempo dalam artikelnya yang bertajuk, terjadi banjir bandang yang menerjang kota Bojonegoro dan Tuban. Rusaknya hutan dan eksploitasi gunung kapur di perbukitan kendeng, jadi penyebab utama bencana banjir bandang ini. Misalnya banjir bandang di beberapa desa di Kecamatan Rengel, Tuban, disebabkan tanah kapur di kawasan perbukitan di Grabagan rusak. Banjir juga menyebabkan sejumlah rumah rusak berat dan 3 jembatan hancur. Dengan kerugian material mencapai 80 juta rupiah, walaupun belum tercatat adanya korban jiwa. [1] Di Kabupaten Tuban, perbukitan kapur melintas di sebagian besar 20 kecamatan. Mulai dari Kecamatan Rengel, Soko, Parengan, Singgahan, Montong, Senori, Plumpang, Semanding, Grabagan, Merakurak dan sebagian di Kecamatan Palang. Tetapi dalam 10 tahun terakhir terjadi eksploitasi besar-besar di gunung kapur, untuk tanah uruk dan bahan baku semen. Pegunungan kapur dan hutan di perbukitan jadi rusak, sehingga berdampak pada banjir bandang. Jika hujan deras datang, airnya mengalir deras di daerah di bawahnya. Banjir bandang di Kecamatan Rengel, pada Jumat 6 Februari, membuat puluhan rumah terendam banjir, meski waktunya tidak lama. Hanya banjir dan lumpur membuat jalur provinsi penghubung Bojonegoro-Tuban, lumpuh lebih dari dua jam lamanya. Data di BPBD Tuban menyebutkan, ada 16 kecamatan dari total 20 kecamatan di Tuban, masuk zona rawan bencana alam. Daerah pegunungan kapur jadi kawasan yang paling sering terjadi bencana alam. Selama Januari 2015, terjadi lima kali banjir bandang di Kecamatan Kedewan, Kasiman, Malo, Bubulan, dan Temayang. Dampaknya, banjir bandang yang melewati Sungai Pacal dan tanggul Sungai Mekuris di Kecamatan Kanor, jebol, pada awal bulan Februari ini. Adapun pihak penambang yang seharusnya bertanggung jawab seolah “angkat tangan” –bersikap enggan bertanggung jawab dengan tidak melakukan tindakan rekonservasi alam. Bahkan hal tersebut diperburuk dengan pihak-pihak yang secara illegal turut menambang di sana. Kasus dramatis yang menimpa alam dan masyarakat Bojonegoro-Tuban tersebut hanyalah salah satu kasus diantara banyak kasus kerusakan lingkungan yang terjadi di indonesia. Kasus diatas memberi sekelumit gambaran betapa modernisasi yang tengah berjalan beserta sistem industri yang kompleks baik dalam organisasi maupun teknologi tidak hanya menimbulkan decak kagum tetapi juga membawa berbagai persoalan serius menyangkut kerusakan ekologis. Keuntungan dan produktivitas menjadi prioritas tanpa memperhatikan konservasi dan kelestarian alam yang juga menjadi hak anak-cucu kelak.
Seiring dengan berjalannya waktu, kompleksitas persoalan ekologis menjadi kian berat. Dan dampaknya semakin terasa dalam kehidupan kita, mulai dari aspek kesehatan hingga terjadinya bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, dll. Perubahan iklim secara ekstrim menyebabkan bencana banjir, tanah longsor, bahkan juga bencana kekeringan dan suhu ekstrim (panas) di beberapa wilayah Jawa dan beberapa daerah lain di luar Jawa seperti Kalimantan, Sumatera Selatan, Kerinci atau Aceh[2] yang disebabkan karena kerusakan ekologis, sekiranya menjadi catatan dan telaah kritis bagi manusia, sebagai subyek yang “meminjam” kekayaan alam untuk bertahan hidup perihal, “apa yang telah saya lakukan sungguh tepat? ”. Bagi penulis hal ini merupakan sesuatu yang menarik adalah bagaimana alam dan manusia saling berinteraksi dalam kehidupan. Lantas, sejatinya Filsafat Timur menelaah lebih komprehensif dan holistik perihal hubungan antara manusia dan alam. Dalam hal ini penulis hendak menelaah fenomena eksploitasi alam secara umum dengan mengambil contoh kasus “Penambangan Ekspliotatif Kapur di Bojonegoro-Tuban” dalam perspektif Taoism. Adapun penulis memilih Taoisme sebagai “pisau bedah” karena Taoisme menekankan kedekatan langsung dengan alam untuk mendorong kesederhanaan dan spontanitas di dalam individu – individu dan dalam hubungan manusia. Lantas, dalam paper ini penulis ingin menelaah relasi manusia dan alam berdasarkan perspektif Taoisme, sejatinya bagaimana seharusnya sikap manusia dalam relasinya dengan alam, guna mewujudkan suatu keharmonisan, sehingga nampak terang apakah manusia dengan alam itu bermusuhan (bertolak belakang) atau mampu berelasi secara harmoni-berdampingan dan saling bersinergi?
Воспользуйтесь поиском по сайту: ©2015 - 2024 megalektsii.ru Все авторские права принадлежат авторам лекционных материалов. Обратная связь с нами...
|